Sabtu, 14 Maret 2009

makallah konflik poso

BAB I

PENDAHULUAN

1. latar belakang

Tahun 1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik nasional, baik secara struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang demokrasi berkeadilan.

Pada waktu itu indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak kalangan adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam dan kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antardua pemuda yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi – implikasi kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik terjadi belarut – larut yang memakan korban jiwa dan harta.

Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi akhir 1998, kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di ikuti oleh komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi. Kan tetapi berselang kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa ini yaitu : Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Keduua oknum ini adalah termasuk elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.

Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat kristiani yang bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD 1 Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan belah pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu dapat dengan mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada kerusuha. Oleh karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena kekecewaan dari elite politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal politik.

BAB I

PEMBAHASAN

1. Penyebab/akar dari konflik sosial yang terjadi di poso

Wapres menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama namun adanya rasa ketidak adilan. awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal, pada masa sebelumnya melalui muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan. contohnya, jika Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakilnya akan dicarikan dari Islam. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian terjadi harmonisasi, namun dengan demokrasi tiba-tiba the winner take all," kata Wapres. Karena pemenang mengambil alih semua kekuasaan, tambah Wapres maka pihak yang kalah merasa telah terjadi ketidak adilan.

Keluar dari pendapat Wapres, konflik sosial yang terjadi di poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama.

Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :

a) Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan ramadhan.

b) Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku – suku pendatang seperti bugis, jawa, dan gorontalo, serta kaili pada kerusuhan ke III.

c) Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten terutama di daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD tentena.

d) Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan ke agamaan kristiani pada kerusuhan ke III.

e) Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan islam.

f) Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.

g) Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.

h) Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum meledak kerusuhan III.

Terlepas dari setuju tidak terhadap pendapat mengenai akar amsalah dari konflik poso, secara sibernetik hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut : bahwa pada intinya budaya pada masyarakat poso mempunyai fungsi untuk mempertahan kan pola atas nilai – nilai sintuvu maroso yang selama ini menjadi anutan masyrakat poso itu sendiri. adanya Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan ramadhan merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai nilai yang selama ini manjadi landasan hidup bersama. Pada satu sisi muslim terusik ketentramannya dalam menjalankan ibadah di bulan ramadhan kemudian menimbulkan reaksi balik untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap pelaku pelanggaran nilai – nilai tersebut. Disisi lain bagi masyarakat kristiani hal ini menimbulakn masalah baru mengingat aksi masa tidak di tujukan terhadap pelaju melainkan pada pengrusakan hotel dan satrana maksiat serta operasi miras, yang di anggap telah menggangu kehidmatan masyrakat kristiani merayakan natal, karena harapan mereka operasi – opresi tersebut di laksanakan setelah hari natal.

Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik sosial yang terjadi di poso adalah dalam hal ini adanya perkelahian antar pemuda yang di akibatkan oleh minuman keras. Tidak di terapkan hukum secara adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapat keadilan misalnya adanya keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain- lain.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di poso terletak pada masalah politik. Bermula dari suksesi bupati, jabatan sekretaris wilayah daerah kabupaten dan terutama menyangkut soal keseimbangan jabatan – jabatan dalam pemerintahan.

Pendapat keempat mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan poso adalah justru terletak karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan kaum pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili. Kecemburuan sosial penduduk asli cukup beralasan dimana pendapatan mereka sebagai masyarakat asli malah tertinggal dari kaum pendatang.

2. Dampak dari konflik sosial yang terjadi di poso

kerusuhan yang terjadi di poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar jika di liat dari kerugian yang di akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu, Dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhan poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap penduduk muslim kota poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman kabupaten poso yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota poso.

Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :

1. Budaya dampak sosial yang terjadi adalah :

Ø di anut kembali budaya “pengayau” dari masyarakat pedalaman (suku pamona dan suku mori).

Ø Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya.

Ø Runtuhnya nilai – nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial masyarakat poso yang pluralis.

2. Hukum dampak sosial yang terjadi adalah :

Ø Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok merah dan kelompok putih.

Ø Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjdi kejahatan terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.

Ø Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di masyarakat kabupaten poso.

Ø Muculnya perasaan dendam dari korban – korban kerusuhan terhadap pelaku.

3. Politik dampak sosial yang terjadi adalah :

Ø Terhentinya roda pemerintahan.

Ø Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.

Ø Hilanggnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing – masing kelompok kepentingan.

Ø Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.

4. Ekonomi dampak sosial yang terjadi adalah :

Ø Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.

Ø Eksodus besar – besaran penduduk muslim poso.

Ø Terhentinya roda perekonomian.

Ø Rawan pangan.

Ø Munculnya pengangguran dan kelangkaankesempatan kerja.

3. Solusi dari konflik di poso

Mungkin saja salah satunya yaitu kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. “Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan, anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel. Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus bersatu. “Mereka harus bersanding, bukannya bertanding,”.

Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus, karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.

Jika diamati secara jujur, apa yang sedang dialami di Poso tidak saja aneh tapi juga tak masuk di akal sehat. Sebab, semua orang tahu bahwa soal penggunaan senjata bagi warga sipil bukankah aturannya cukup ketat. Artinya tidak sembarang orang bisa membawa atau memiliki senjata apalagi yang mematikan. Anehnya, kenapa justru warga sipil khususnya di Poso begitu bebas memiliki senjata

Nah, untuk memecahkan sebuah permasalahan seperti yang sedang terjadi di Poso sebenarnya tidaklah terlalu sulit bila semua pihak mau berikrar secara serius dan tulus. Artinya, semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang menghimpitnya selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu. Pencegahan sedini mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara masyarakat harus diutamakan. Terutama, perlunya kewaspadaan terhadap gerak-gerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam. Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar dilaksanakan. Harapan kita masyarakat Poso akan kembali dapat hidup dengan tenang dan damai.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pembahasan sebelumnya maka dengan ini saya menarik suatu kesimpulan mengenai konflik sosial yang terjadi di poso adalah berawal dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Blum lagi kurang adanya keadilan dimana ada sebagian masyarakat yang merasa di diskriminasi, ada juga masalah politik dimana penguasaan struktur pemerintahan oleh satu pihak dalam arti tidak ada keseimbangan jabatan dalam pemerintahan. Serta masalah tentang karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan kaum pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili.

Konflik sosial yang terjadi di poso ini sangat berdampak pada masyarakat khususnya masyarakat poso itu sendiri, Mulai dari segi Budaya, Hukum, Politik, Ekonomi, selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis juga bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu.

Cara yang mesti kita lakukan adalah melakukan kerja sama mulai dari kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. “Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan, anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel.

2. Saran/kritik

Ø Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai konflik sosial yang terjadi di poso, Yang merupakan salah salah satu tragedi nasional.

Ø Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penulisan ini di masa akan datang.

Ø Penulis juga berharap agar dalam penyelesaian masalah konflik sosial di poso ada kerja sama dari semua pihak tanpa ada rasa memihak satu kelompok.

Pengertian Birokrasi

1. Birokrasi harus dicerna sebagai satu fenomena sosiologis. Dan birokrasi sebaiknya dipandang sebagai buah dari proses rasionalisasi.

2. Konotasi atau anggapan negatif terhadap birokrasi sebenarnya tidak mencerminkan birokrasi dalam sosoknya yang utuh. Birokrasi adalah salah satu bentuk dari organisasi, yang diangkat atas dasar alasan keunggulan teknis, di mana organisasi tersebut memerlukan koordinasi yang ketat, karena melibatkan begitu banyak orang dengan keahlian-keahlian yang sangat bercorak ragam.

3. Ada tiga kecenderungan dalam merumuskan atau mendefinisikan birokrasi, yakni: pendekatan struktural, pendekatan behavioral (perilaku) dan pende-katan pencapaian tujuan.

Tipe Ideal Birokrasi dari Max Weber

1. Apa yang telah dikerjakan oleh Max Weber adalah melakukan konseptualisasi sejarah dan menyajikan teori-teori umum dalam bidang sosiologi. Di antaranya yang paling menonjol adalah teorinya mengenai birokrasi.

2. Cacat-cacat yang seringkali diungkapkan sebenarnya lebih tepat dicerna sebagai disfungsi birokrasi. Dan lebih jauh lagi, birokrasi itu sendiri merupakan kebutuhan pokok peradaban modern. Masyarakat modern membutuhkan satu bentuk organisasi birokratik. Pembahasan mengenai birokrasi mempunyai kemiripan dengan apa yang diamati oleh teori organisasi klasik.

3. Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan 3 tipe idealnya yang terdiri dari: otorita tradisional, kharismatik dan legal rasional. Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legimitasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Sedang otorita kharismatik menunjukkan legimitasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa. Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi.

4. Kelemahan dari teori Weber terletak pada keengganan untuk mengakui adanya konflik di antara otorita yang disusun secara hirarkis dan sulit menghubungkan proses birokratisasi dengan modernisasi yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang.

5. Tipologi yang diajukan oleh Weber, selanjutnya dikembangkan oleh para sarjana lain, seperti oleh Fritz Morztein Marx, Eugene Litwak dan Textor dan Banks.

Karakteristik Birokrasi

1. Menurut Dennis H. Wrong ciri struktural utama dari birokrasi adalah: pembagian tugas, hirarki otorita, peraturan dan ketentuan yang terperinci dan hubungan impersonal di antara para pekerja.

2. Karakteristik birokrasi menurut Max Weber terdiri dari: terdapat prinsip dan yurisdiksi yang resmi, terdapat prinsip hirarki dan tingkat otorita, manajemen berdasarkan dokumen-dokumen tertulis, terdapat spesialisasi, ada tuntutan terhadap kapasitas kerja yang penuh dan berlakunya aturan-aturan umum mengenal manajemen.

3. Ada dua pandangan dalam merumuskan birokrasi. Pertama, memandang birokrasi sebagai alat atau mekanisme. Kedua, memandang birokrasi sebagai instrumen kekusaan.

4. Ada tujuh hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan organisasi birokratik.


Pentingnya Birokrasi

1. Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan pentingnya peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan publik.

2. Menurut Robert Presthus, pentingnya birokrasi diungkapkan dalam peranan-nya sebagai “delegated legislation”, “initiating policy” dan”internal drive for power, security and loyalty”.

3. Dalam membahas birokrasi ada tiga pertanyaan pokok yang harus diperhati-kan, (1) bagaimana para birokrat dipilih, (2) apakah peranan birokrat dalam pembuatan keputusan, dan (3) bagaimana para birokrat diperintah. Dalam hubungannya dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu disadari adalah ada perbedaan antara proses pembuatan keputusan yang aktual dengan yang formal. Dalam kenyataan birokrat merupakan bagian dari para pembuat keputusan.

4. Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegia-tannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini

Kelemahan dan Problema dalam Birokrasi

1. Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal:
a. penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional
b. terlalu menekankan aspek-aspek rasionalitas, impersonalitas dan hirarki
c. kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi
d. berlakunya pita merah dalam kehidupan organisasi

2. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwa birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif, tetapi seperti dikemukakan oleh K. Merton lebih merupakan “bureaucratic dysfunction” dengan ciri utamanya “trained incapacity”.

3. Usaha-untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori birokrasi sistem perwakilan. Asumsi yang dipergunaksn adalah bahwa birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilai-nilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya aktivitas administrasi diorientasikan pada kepen-tingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak dapat dijalankan. Sehingga dengan birokrasi sistem perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kantrol internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual amat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan. Karena teori ini tidak realistik, tidak jelas kriteria keperwakilan, emosional dan mengabaikan peranan pendidikan.